February 14, 2011

(hampir) aku banget

    "Keenan, umurku 18 tahun, kuliah jurusan sastra, kepingin jadi penulis serius dan dihargai sebagai penulis serius. Orang - orang di lingkunganku kepingin jadi juara menulis cerpen di majalah dewasa, atau juara lomba novel Dewan Kesenian Jakarta, dan itu menjadi pembuktian yang dianggap sah. Sementara isi kepalaku cuma pangeran lobak, peri seledri, penyihir nyi kunyit, dan banyak lagi tokoh sejenis. di umurku, harusnya aku nilis kisah cinta, kisah remaja, kisah dewasa ... "
    "banyak cerita dongeng yang isinya kisah cinta."
    "Intinya adalah : semua itu nggak matching! antara umurku, profilku, cita - citaku, pembuktian yang harus aku raih, dan isi kepala ini."
    "saya masih nggak ngerti." Keenan melipat tangannya di dada.
    "waktu aku kecil, punya cita-cita ingin jadi penulis dongeng masih terdengar lucu. begitu sudah besar begini, penulis dongeng terdengar konyol dan nggak realistis. setidaknya, aku harus jadi penulis serius dulu. baru nanti setelah mapan, lalu orang-orang mulai percaya, aku bisa nulis dongeng sesuka-sukaku."
    "jadi .... kamu ingin menjadi sesuatu yang bukan diri kamu dulu, untuk akhirnya menjadi diri kamu yang asli, begitu?"
    "yah, kalau memang harus begitu jalannya, kenapa nggak?"
    "bukannya itu yang nggak matching?" tanya Keenan lagi, tajam.
    "asal kamu tahu, di negara ini, cuma segelintir penulis yang bisa cari makan dari nulis tok. kebanyakan dari mereka punya pekerjaan lain, jadi wartawan kek, dosen kek, copy writer di biro iklan kek. apalagi kalau mau jadi penulis dongeng! sekalipun aku serius mencintai dongeng, tapi penulis dongeng bukan pekerjaan 'serius'. nggak bisa makan."
    "tadi kamu makan pizza. nggak ada masalah kan? artinya kamu bisa makan."
    "aku harus bisa mandiri, punya penghasilan yang jelas. baru setelah itu... TER-SE-RAH," nada suara Kugy mulai tinggi, "aku nggak tahu kamu selama ini ada di planet mana, tapi tinggal di planet bernama Realitas ini, aturan mainnya begitu"
    Keenan terdiam. di kepalanya melintas gulungan-gulungan kanvas bertorehkan lukisan yang ia tinggalkan di Amsterdam. "betul, memang begitu aturan mainnya," gumamnya


(Perahu Kertas, Dee : hal 36-38)

No comments:

Post a Comment